Pemaknaan #BerSuaRa
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabaraktuh!
Bagiku salam bukan hanya sebatas formalitas,
ada doa penuh harapan disana ”Semoga Allah melimpahkan keselamatan dan rahmat
serta keberkahan-Nya pada kalian”
Hai untuk ke sekian kalinya. Panggil aku Ra. Diri
di masa lalu pernah senang sekali menulis, ada masa dimana tentang cerita
pendek dengan romansa seorang yang baru merasakan jatuh cinta (katanya), ada
masa dimana penggalannya tentang menariknya hidup, pernah juga pada masa berisi
rangkaian tulisan berdamai dengan luka. Kali ini aku akan katakan untuk
kesekian kalinya bahwa aku rindu menulis. Menulis seakan memberi jeda pada
hidup yang semakin terasa riuh. Sesi menulis katanya dapat menurunkan
kecemasan. Jadi selamat mendengarkan, eh tepatnya membaca tulisan ini.
Mulai pada sebagian masa aku tak lagi mencoba
menulis dan biasanya masa itu beriringan dengan juga tak se-semangat itu untuk
membaca. Pada masa itu biasanya aku tergantung pada pikiran yang ramai,
kurangnya pemaknaan pada aktivitas yang dijalani, dan sedihnya diri akan mulai
lupa caranya untuk sesederhana bersyukur dengan apa yang terjadi.
Pernah seorang anak baik berkata pada diri
bahwa ia (saat itu) belum ingin menambah targetan agenda kebermanfaatan harian.
Cukup kaget aku mendengarnya, selama bertahun mengenalnya ia seorang yang cukup
ambisius dan produktif dengan segala kesibukannya sebagai salah satu pemimpin
di organisasi kampus. Jawabannya cukup sederhana, ia ingin meningkatkan pemaknaan
dalam aktivitas yang sebelumnya telah menjadi targetan hariannya. Pada saat itu
aku belum paham apa maksudnya.
Di masa yang lain dengan berbagai cerita di belakangnya
dan juga Qadarullah asbab menyaksikan salah satu acara talkshow yang membahas
Slow Living, aku mulai sedikit lebih tahu mengenai maksud pemaknaan.
Diri sering terpukau dengan segala sesuatu yang
hebat, terlihat, dan besar. Seperti diri yang akan lebih terpana mendengar
telah mendapat gelar sarjana dibandingkan capaian-capaian telah menyelesaikan
tugas Kimia Dasar atau soal Matriks saat ujian, padahal tanpa salah dua contoh
tadi gelar Sarjana tidak akan tercapai. Singkatnya diri lupa memaknai untuk apa
melakukan suatu hal dan setiap apa yang telah dilakukannya.
Pada suatu hari karena menghemat waktu jalur
angkot yang memutar, aku memilih berjalan sekitar 1 km agar lebih cepat sampai.
Dalam perjalanannya aku baru menyadari sepanjang jalan ada sampah kecil maupun
besar dan selokan yang tidak begitu keruh namun masih juga dihiasi sampah.
Kalau dipikirkan secara jujur sebagai manusia, kadang manusia egois juga ya
(atau sering?) kita sebatas memindahkan sampah yang ada dihadapan kita ke tempat
yang selanjutnya tak terlihat oleh mata. Apa hubungannya cerita sampah dan
pemaknaan? Dengan menikmati perjalanan yang kita lalui, diri akan menemukan
sesuatu yang biasanya tak terlihat bila jalan terburu-buru (baca: naik kendaran).
Pemisalan ini juga bisa kita sangkut pautkan dengan hidup. Seperti takdir masa
depan yang setiap kita belum tahu kemana akan bermuaranya, maka pilhan untuk
memaknai setiap prosesnya adalah pilihan yang lebih bijak.
Cerita lain, seperti saat melihat orang lain
telah bekerja hingga ditugaskan ke Luar Negeri, tapi diri belum mencapai itu.
Dalam pemaknaan hidup, POV itu ada pada diri. Setiap kita punya alasan berbeda
dalam menentukan jalan hidup. Ada yang bekerja hingga merantau dan ada yang memilih
berjuang di kampung halaman agar dapat menemani orangtua, ada yang bekerja tak
sesuai keinginan tapi perlu biaya untuk memenuhi tanggung jawab dan ada yang
memilih tetap hidup idealis walau uang terasa “tak pasti” ada setiap tanggal 1.
Setiap kita perlu tau apa tujuan sebenarnya dari yang dilakukan dan kadang
baiknya orang lain yang tidak berkepentingan tak perlu begitu tahu. Jika belum
punya, akan lebih mudah tergelincir pada ketidak puasan, pada menginginkan
kisah orang lain, pada kewas-wasan tak berujung yang meletihkan. Salah salah, bisa
jadi pikiran kita bisa berubah menjadi materialistis. Menjadi kaya harta itu bukan
kesalahan, tapi bukan juga sebuah tujuan utama.
Tulisan kali ini akan aku coba tutup dengan
penggalan kalimat yang terinspirasi dari Alvi Syahrin karena aku tak begitu
ingat lengkapnya :”) “Seperti kuku yang terus memanjang tanpa kita sadari, pertumbuhannya
mungkin tak terlihat dan bahwa seperti itulah diri terus bertumbuh.”
Semoga tulisan ini menjadi jalan kebaikan.
Sampai bersua di lain takdir.
Wasalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh!
Comments
Post a Comment